Yogyakarta, Bukan Lagi Ibukota Kata-kata?
Saya teringat sebuah catatan
dari Pak Musthofa W Hasyim, beliau menyebut Yogyakarta sebagai ibukota
Kata-kata. Sastrawan yang produktif menulis puisi dan novel tersebut setidaknya
punya beberapa alasan.
Sejak awal Kemerdekaan banyak
cendekiawan lahir atau besar di Yogyakarta. Mereka menghasilkan tulisan dan
karya yang mampu menginspirasi bangsa.
Pada zamannya, Malioboro
selalu ramai berkumpul para seniman, budayawan dan sastrawan. Jagongan sambil
bertukar wawasan, menjadi modal untuk menelurkan karya. Tidak sedikit sastrawan
alumni Malioboro yang terus berkiprah hingga kini, satu di antaranya adalah
Emha Ainun Najib (Cak Nun).
Lainnya cukup banyak untuk
disebut semisal Motinggo Busye, Idrus Ismail, Umbu Landu Paranggi dan tentu
saja maestro musik kegemaran saya : Ebiet G. Ade. Pada tahun 1960, Malioboro
menyimpan pesoan bagi mereka untuk datang berdiskusi dan berkarya.
Konon, Cak Nun, rela membolos
puluhan kali dalam satu semester demi menghadiri jagongan di Malioboro. Untung
Ebiet G. Ade, teman se-almamaternya di Muhi tidak se-mbeling Cak Nun.
Yogyakarta, Ibukota kata-kata.
Ayat pertama dalam Al Quran yang diturunkan berisi perintah membaca. Iqra',
demikian perintahnya. Bacalah! Beruntung, ada sosok KH. As'ad Humam yang
mengkaji dan menemukan sebuah metode belajar membaca Alquran dengan mudah dan
cepat. Metode ini terbukti efektif hingga kini. Dikenal dengan Metode Iqra'
dari Kota Gede Yogyakarta.
Meski hanya belajar sampai
tingkat SMP, KH. As'ad Humam berjasa besar karena dengan wasilah temuannya,
bisa membantu membebaskan jutaan orang dari buta huruf Alquran di penjuru
dunia. Dari Asia hingga Afrika.
Yogyakarta, Ibukota Kata-kata.
Shoping, dulu muncul kesan ke shoping ya mencari buku. Baik buku baru maupun
loakan. Pengunjungnya dari orang awam hingga dosen. Dari pelajar SD hingga
mahasiswa.
Lalu, apakah Yogyakarta masih
layak dijuluki Ibukota Kata-kata? Malioboro ramai dengan para pewisata. Shoping
tak lagi ramai orang mencari bahan pustaka. Perpustakaan? Seperti tak menjadi
daya tarik lagi bagi kaum muda. Minat baca? Bisa diteliti berapa kuat minat
baca. Jika sebagai kota pendidikan saja minat baca rendah, bagaimana mungkin
menghasilkan generasi emas yang akan membanggakan bangsa.
Butuh kerja besar, untuk
menjaga marwah Yogyakarta. Sebelum Handphone dan segala perangkat serupa
merenggut segalanya.
Barat || 27 April 2019
Tidak ada komentar untuk "Yogyakarta, Bukan Lagi Ibukota Kata-kata?"
Posting Komentar